31 Jul 2007

4 Juta Balita Tewas Akibat Pencemaran Lingkungan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pernyataan yang amat mengejutkan. Dilansir dari Kantor Berita Reuters, 27 Juli 2007 lalu, WHO menyatakan dalam satu tahun 4 juta balita tewas akibat pencemaran lingkungan.

Laporan yang dikeluarkan di Jenewa (Swiss) menyebutkan bahwa 30% dari angka penyakit dan kematian pada bayi dipicu oleh faktor lingkungan hidup. Di antaranya pencemaran udara dan air, serta keracunan zat kimia.

Keracunan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, dan malaria yang disebarkan oleh nyamuk yang berkembang di air kotor menjadi penyebab kematian paling banyak.


this picture taken from: http://waxidermy.com/2006/06/01/walt-rockman-pollution/

"Data tersebut didapat dari hasil penelitian institusi yang kami akui," Ujar staff ahli WHO, Jenny Pronczuk kepada pers.

Laporan yang disusun oleh orang 24 ilmuwan WHO ini juga menyebutkan bahwa zat-zat kimia menimbulkan efek yang berbeda bagi pertumbuhan masing-masing anak.

Efeknya akan berbeda pula dengan anak yang terpapar sat kimia beracun selagi ia masih dalam kandungan. Zat pencemar yang terhirup ibunya, akan merasuk ke tulang si janin, dan baru akan ketahuan dampaknya setelah ia memasuki masa pertumbuhan.

Angka kematian dan jumlah penderita penyakit yang disebabkan kerusakan lingkungan hidup paling banyak ditemukan di Afrika. Asia Tenggara menyusul di tempat kedua.




Subscribe in a reader

30 Jul 2007

Nasib Simpanse

by: syam asinar radjam
# 25 kata

Meski terlahir sebagai simpanse Afrika atau Asia, begitu masuk pusat rehabilitasi yang didanai barat, sang simpanse diberi nama barat. Gaby, Bruno, Julie, atau apa saja.

[cerita kilat lainnya dapat dibaca di softtext]




 Subscribe in a reader

Akhir dari Eksotika Pelosok

by: syam asinar radjam
# 48 kata

Pelosok-pelosok yang indah dan eksotik disiarkan melalui televisi, koran, atau majalah. Entah itu keelokan pantai, sungai, danau, gunung, atau bukan pemandangan alam sama sekali —seperti atraksi budaya, keramah-tamahan, atau apa saja. Lambat laun, pelosok nan eksotik menjadi terkenal. Para turis datang berduyun, lalu kerusakan dimulai.

[cerita kilat lainnya dapat dibaca di softtext]





 Subscribe in a reader

27 Jul 2007

Jakarta: Gotham City Without Batman

Technorati Profile

Gotham City Without Batman






 Subscribe in a reader

26 Jul 2007

Lowongan Burung Indonesia

Lowongan Burung Indonesia:

BirdLife Indonesia was established on 15 July 2002, as an independent, Indonesian non-government organisation, after working for 10 years as the program office of BirdLife International in Indonesia. BirdLife Indonesia provides opportunities for the public to take practical action to conserve birds and their habitats in Indonesia.

Project Summary:

The project area is located in the western part of the island of Flores in the district of Manggarai Barat in East Nusa Tenggara. The objective is Participatory forest management improves sustainable livelihoods in communities around Mbeliling.

Position:
1. Team Leader - Conservation Management Officer
Overall purpose of the job:

To manage all aspects of the project implementation in Mbeliling through liaison with local government agencies, central government, local communities and other relevant NGOs working in the Mbeliling area and prepare and maintain report to donor.

Requirements:

1. University degree in biodiversity conservation, environmental management, Ecology Landscape or related discipline.
2. Familiar with Indonesian policy on forest management, conservation and collaborative management and zone system.
3. Experience of working with local government bureaucracies, community groups and other NGO.
4. Working knowledge of strategic planning processes; proposal development and community participation.
5. Working knowledge of developing detailed work plans and budgets
6. Experience of project reporting and donor relations
7. Good coordination and organizational skills
8. Experience of managing staff
9. Fluency in oral and written English
10. At least 7 years relevant working experience

Duty Station: Flores Project Office, Flores, Indonesia
Duration of Assignment: 36 months

2. Finance and Administration Officer

Overall purpose of the job:

To manage all financial and administrative aspects of the project at site level

Requirements:

1. D3/ University degree in finance and administration
2. At least 2 years of working within administration and finance
3. Experience of financial reporting
4. Good Computer skills in MS Office (Excel, Access, Word)
5. Good coordination and organizational skills
6. Previous experience of working at remote locations will be an advantage
7. Ability to speak English will be an advantage

Duty Station: Flores Project Office, Flores, Indonesia

Duration of Assignment: 36 months

3. Communication & Awareness Officer
Overall purpose of the job:

To support the implementation of the BirdLife Programme on Mbeliling through planning and implementation of awareness activities aimed at key stakeholders so that they take action in support of the project objectives.

Requirements:

1. University degree in communication & education or similar skills
2. At least 5 years of relevant working experience
3. Working knowledge of designing and analysing data and survey questionnaires
4. Working experience of environmental education program in schools and on radio
5. Good communications skills
6. Good facilitator of meetings
7. Good computer skills in Photoshop, Page Maker and Survey Pro
8. Experience of working with community groups and local government
9. Previous experience of working at remote locations will be an advantage

Duty Station: Flores Project Office, Flores, Indonesia
Duration of Assignment: 36 months

4. Community Participation Officer


Overall purpose of the job:

To lead community participation in the conservation efforts in Mbeliling. To ensure that communities support and agree with other stakeholders on the collaborative management of the area.

Requirements:

1. University degree in socio-economy, anthropology, philosophy or related discipline
2. At least 5 years of relevant working experience
3. Experience of working with communities and with local governments
4. Team-building and training methods
5. Good facilitator and mediator
6. Familiar with Participatory Rural Appraisal and other participatory methods
7. Understand Millennium Development Goals concept.
8. Self-motivated, innovative, with ability to work with limited supervision, strong commitment to nature conservation
9. Previous experience of working at remote locations will be an advantage

Duty Station: Flores Project Office, Flores, Indonesia
Duration of Assignment: 36 months

5. Stakeholder Relations Officer

Overall purpose of the job:

To support the implementation of the BirdLife Indonesia Programme in Mbeliling through planning and implementation of advocacy activities to key stakeholders with the purpose of taking action in support of the project objectives

Requirements:

1. University degree in social science, law or related discipline
2. At least 5 years of relevant working experience
3. Experience of working with local community groups, government bureaucracies and other stakeholders
4. Familiar with Indonesian policy on forest management, conservation, and collaborative management and decentralization
5. Good facilitator and experience of development forums
6. Good coordination and organizational skills
7. Spoken English will be an advantage
8. Previous experience of working at remote locations will be an advantage

Duty Station: Flores Project Office, Flores, Indonesia
Duration of Assignment: 36 months

Hanya kandidat terpilih yang akan dihubungi.
Lamaran lengkap dapat dikirimkan sebelum tanggal 6 Agustus 2007 kepada:
Henny M Sembiring
GAA Division
Burung Indonesia
Jl. Dadali No. 32, Bogor 16161
Telp. 0251- 357 222
Fax . 0251- 357 961
Website. www.burung.org



 Subscribe in a reader

Lowongan Warsi

LOWONGAN

KKI - WARSI sebuah Organisasi Nirlaba yang peduli terhadap pengembangan masyarakat sekitar hutan dan pengelolaan sumber daya hutan yang lestari.
Membutuhkan tenaga untuk staff, dengan kualifikasi sebagai berikut:


1. Fasilitator/Pendamping Orang Rimba/Antropolog (Code : AN), - melakukan kajian dan pendampingan masyarakat sekitar hutan
2. Fasilitator Pendidikan Orang Rimba, (Code: PDK). - membantu mengembangkan pendidikan alternatif untuk Orang Rimba
3. Fasilitator Desa (Code: FD) - mengembangkan potensi masyarakat pedesaan di sekitar hutan melalui pendampingan.
4. Staff Komunikasi, (Code : KOM). - membantu mengembangkan hubungan dengan media massa dalam merancang kampanye informasi, (lebih disukai yang mempunyai pengalaman menulis)
5. Staff Design Graphic, (Code: DG) mengembangkan desain media kampanye konservasi melalui design grafis,(lebih disukai yang mempunyai hoby photogragpy)
6. Staff GIS, (Code GIS) membantu mengembangkan dan mengelola system informasi geografis serta aplikasi pengelolaan data base.
7. Staff Ekonomi Management, (Code: LKM) mengembangkan dan melakukan pendampingan dalam pengelolaan lembaga keuangan mikro

Kualifikasi pendidikan minimal S-1 dan/atau pengalaman berimbang.
Informasi lebih lanjut tentang proyek bisa diperoleh di :
http://www.warsi.or.id.
Lamaran diterima paling lambat tanggal 15 Agustus 2007 (Stempel pos),
cantumkan kode yang diminati) Lamaran ditujukan kepada :
Project Manager, PO.BOX 117/JBI, Jambi 36000



\|||/
(. .)
*--------------ooO-(_)-Ooo-------------*
Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI
Aj0e- INDONESIA

------------.oooO--------------------
( ) Oooo.
\ ( ( )
\_) ) /
(_/




Subscribe in a reader

22 Jul 2007

15 'Green Cities' se-Dunia

Grist, sebuah situs lingkungan, merilis daftar kota hijau sedunia. Ada 15 kota yang mereka pilih, dan hanya satu kota di Asia yang masuk hitungan.

Reykjavik di Islandia nongkrong di urutan pertama kota hijau sedunia. Kenapa kota di 'tanah es' ini yang justru menjadi kota hijau. Bukan kota di 'tanah hijau' alias greenland?

Jawaban sederhananya,"Greenland is icy and Iceland is green."

Tapi jawaban seriusnya bisa ditemukan pada artikel lengkap di situs grist.

 Subscribe in a reader

Bakar: Teknik Landclearing Murah Meriah

By: antubanyu

Mengapa kebakaran hutan terus saja terjadi? Dan kenapa banyak perusahaan perkebunan besar juga kedapatan melakukan pembakaran?

Jawabannya tentu saja gampang. Efisiensi biaya atau penghematan biaya! Seberapa murah?

Dengan cara bakar, perusahaan mengeluarkan biaya 50 kali lebih murah ketimbang menggunakan mesin modern. Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Prof. Emil Salim dalam Regional Outlook Forum 2007 sebagaimana dikutip antubanyu dari artikel “Haze will worsen, action needed now” di situs Singapore Institute of International Affairs (SIIA)

...that it costs an estimated US$250 (S$385) per hectare for companies to clear forests in a responsible manner, using modern machines.

In contrast, clearing land by burning costs just US$5 per hectare.

Tapi, masih menurut Prof. Emil Salim, tindakan membakar hutan tidak menyertakan penghitungan biaya lingkungan hidup.






 Subscribe in a reader

19 Jul 2007

Breathing Earth: Kabar Bumi Hari Ini

Tanpa sengaja saya meng-klik sebuah menu di tampilan Mozilla Firefox di komputer. Tiba-tiba muncul sebuah tampilan berupa peta dunia, dengan 3 warna yang membentuk pola pada masing-masing negara di dunia.

global warming

Masing-masing warna adalah, cokelat gelap, cokelat terang, dan merah sebagai penanda emisi karbon dioksida (CO2). Ketiga warna secara berurutan menandakan, negara dengan emisi kurang dari 1000 ton CO2, negara dengan emisi lebih dari 1000 ton CO2, dan negara dengan emisi sekitar 1000 ton CO2.

Yang menakjubkan tampilan data tersebut berubah-ubah dalam jangka waktu sepenghisapan napas. Seolah-olah bumi juga bernapas selayaknya manusia. Sungguh tepatlah situs ini menamai dirinya Breathing Earth, ‘Bumi yang Bernapas’.

Selain menampilkan informasi emisi CO2, Breathing Earth juga menampilkan informasi kelahiran dan kematian baik di skala dunia maupun di masing-masing negara.

Meski mengaku menampilkan semua informasi ini ‘in real time’ dan mengklaim diolah dari sumber-sumber akurat dan termutakhir yang tersedia, sesungguhnya tampilan di situs ini cuma simulasi. Meski demikian, situs yang dikembangkan David Bleja ini sangat menarik untuk membayangkan apa kabar bumi hari ini. Bahkan, detik ini.

http://digg.com/users/syamar/edit/blog?step=3g&blogtype=gdata&check=3279e45e809a71923a33c1099c0a48a0




17 Jul 2007

Selamatkan Terumbu Karang Pulau Banyak (Aceh)

aceh_environment




Hari ini, di mailing-list tanah rencong saya membaca sebuah email dari Yayasan Daun, sebuah organisasi lingkungan di Aceh. Yayasan Daun, meminta , Solidaritas Swiss, menghentikan penggunaan terumbu karang (coral reef) untuk pembangunan perumahan masyarakat di kecamatan Pulau Banyak, propinsi Aceh.

Kecamatan Pulau Banyak adalah sebuah wilayah kepulauan, terdiri dari gugusan pulau yang berjumlah sekitar 99 buah pulau. Kawasan ini juga satu-satunya kecamatan kepulauan yang dibawahi Kabupaten Aceh Singkil, Nanggröe Aceh Darussalam, Indonesia.

Secara geografis, kepulauan ini berada di sebelah Barat Laut Pulau Sumatera. Persis di tepian lidah Samudera Hindia. Karena kekayaan ekosistemnya, kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung, dan atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI ditetapkan sebagai Kawasan "Ekosistem Kepulauan Banyak".

Karena itu, menurut Yayasan Daun meminta koordinator Solidaritas Swiss di Pulau Banyak harus segera menghentikan pengambilan terumbu karang di kawasan tersebut. “Karena prilaku tersebut adalah prilaku penjahat lingkungan yang dapat merusak ekosistem Kepulauan Banyak,” tegas Musa Bako, S.Hut, Dari Divisi Lingkungan Hidup Yayasan Daun.

16 Jul 2007

Kebakaran Hutan Sumatera Asapi Negara Tetangga



by: Syam Asinar Radjam

Selamat datang musim kemarau! Di Indonesia, pergantian musim berarti pergantian jenis bencana.

Musim penghujan berarti banjir, tanah longsor, berikut bencana ikutannya seperti wabah disentri, gagal panen, dan lain sebagainya. Musim kemarau, sebaliknya. Bencana yang datang adalah kekeringan, kebakaran hutan dan lahan karhutla, dan yang paling diributkan dunia adalah bencana kabut asap.

Pulau penyumbang asap terbesar di Indonesia adalah Kalimantan dan Sumatera. Tak sulit melacak sejak kapan asap hasil kebakaran hutan mewabah di Indonesia. Sejak awal 1980-an. Setelah perkebunan skala besar dan Hutan Tanaman Industri diberikan 'ruang bermain' dan mengonversi hutan alam Indonesia.

Lewatkan dulu soal kebakaran hutan terjadi berulang-ulang, setiap tahun, setiap kali musim penghujan berganti kemarau. Yang pasti di Sumatera, katakanlah Sumatera Selatan saja, jumlah titik panas (hotspots) yang merupakan penanda telah terjadi karhutla, terus meningkat seiring waktu.

Harian Kompas (14 Juli 2007) menyebutkan, telah terpantau titik panas sepanjang bulan mei 2007. Bertambah menjadi 43 titik sepanjang bulan Juni. Jumlah hotspot pada bulan Juli, melesat menjadi lipat dua dibanding bulan Juni. Padahal bulan Juli baru berlangsung separuh waktu.

Karhutla tak hanya menghanguskan hutan dan mahluk hidup di dalamnya. Juga memengaruhi dimensi lain. Transportasi menjadi terhambat karena memendeknya jarak pandang. Penduduk setempat maupun warga negara terganggu terancam mengalami gangguan kesehatan. Terutama kesehatan pernapasan.

Maka wajar kalau negera-negara tetangga, macam Malaysia dan Singapura, memprotes Indonesia dalam penanganan karhutla.

Sudah sampai mana asap karhutla 'made in Indonesia'?



Asap Karhutla Indonesia berhembus sampai jauh. Malaysia sebagai negeri pelanggan asap Indonesia telah menerima dampaknya. Menurut SUARA PEMBARUAN DAILY (3 Juli 2007), asap karhutla dari Sumatera telah menurunkan kualitas udara di 5 negara bagian Malaysia, yaitu Selangor, Perak, Penang, Kedah, dan Perlis.

Surat Kabar Bangkok Post, sebagaimana dilansir oleh Koran Sinar Harapan (& Juli 2007) melaporkan asap karhutla dari Sumatera telah menyelimuti langit di bagian selatan Thailand. Provinsi yang terkena dampak asap paling parah adalah Songkhla dan Satun.

Akibatnya, banyak warga propinsi Songkhla mengalami gangguan pernapasan. Sementara itu, di propinsi Satun, asap telah mengakibatkan jarak pandang menjadi terbatas. Kurang lebih 3 kilometer.

Sementara, musim penghujan tampaknya masih lama akan tiba.

13 Jul 2007

13 Hari 85 Titik Panas

Memasuki musim kemarau tahun 2007 ini, kebakaran hutan dan di Sumatera Selatan meningkat. Berdasarkan pemantauan satelit National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), kemarin (Jumat 13 juli 2007), di Pulau Sumatera terpantau 30 titik panas (hotspots). Tiga di Riau, sisanya di Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu.
Dalam bulan Juli ini, dimana baru 13 hari, di Sumatera Selatan sudah terpantau 85 titik panas. Lokasi kebakaran tersebar di 10 dari 15 kabupaten/kota. Kesepuluh kabupaten itu adalah Kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Ilir, Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, Musi Rawas, Lahat, Prabumulih, Muara Enim, dan Palembang.

Kepala Seksi Penanggulangan Kebakaran Hutan Dinas Kehutanan Sumsel Achmad Taufik mengatakan kepada Kompas, pembakaran hutan umumnya terjadi di lokasi yang sama dengan tahun sebelumnya.

Sumber: kompas, 14 Juli 2007


 Subscribe in a reader

11 Jul 2007

Hanging on Pertamina's Promises At Prabumulih

By: Syam Asinar Radjam & Syamsul Bahri Radjam

The river Kelekar in Prabumulih, South Sumatera has acquired a new name. It is now also known as 'Kali Minyak', which means river of oil, a name given by new settlers coming into the area (mostly originating from Java). The new name is unsurprisingly suitable. It is nearly a century since the first oil exploration began in the area, thus it is hardly surprising that the flow of Kelekar river is now laden with crude oil (sludge) and water residue originating from oil processing operations by PERTAMINA.

The pollution of the Kelekar river system and its surrounding area by PERTAMINA Operation Exploration and Production II (now known as Upstream Operation Area/DOH) of Prabumulih had ignited a wave of protests from the Prabumulih community in early 2000.



In 1907 (the Dutch Indies era), oil mining was first started by BPM (De Bataafshe Petroleum Maatschappij), a private Dutch company. Later on, with the arrival the Japanese (1942), management of the oil wells changed hands. Next on the line was PT Shell that took over straight away after the Japanese defeat. Not until sometime in 1948, PERMINA took control of the wells. Then, in the 1950's, PERMINA gradually turned into PERTAMINA.

"We could only watch our suho gehedek (local tongue for natural wealth) taken away by the company (PERTAMINA), while what's left for us is only the excess (sludge)!" said a community member of Prabumulih village during several acts of protest in mid 2000 on the sludge dumping by PERTAMINA.

This statement was the result of a series of damages and impacts suffered by the community living along the Kelekar river system and its surrounding area. The pollution has caused the severe drop in water quality and the extinction of the river biota that had been abundant. In fact, the Prabumulih traditional calendar system confirmed this fact since it is used to mention a tradition called 'nanggok berdusun' among its list of events, which was a tradition where an entire village would get together and communally gathered fish from the river.

Furthermore, the waste also polluted the community's wells, destroyed local rice fields, and often seeped into community's rubber plantation, forest and 'Tanah Budal' (indigenous lands). The damages were worsened since the company's method in cleaning the river from oil was to burn it off by setting the river ablaze.

After protests made by communities and local organization (Solidarity for Prabumulih Environment) together with Walhi South Sumatra, Palembang Legal Aid Foundation, and IMPALM Foundation, PERTAMINA finally admitted their fault in polluting the river Kelekar and agreed to fulfill the 10 community's demands. The company has realized three of those demands during the course of year 2000 up to mid 2001.

These three demands are for the company to:


    Cease polluting Kelekar river,
    Provide clean water resources for the community (drilled wells, clean water tanks, well and clothes-washing area for community on the river bank).
    Support capacity development of local human resources (scholarships, training, course, etc).

While the other 7 points, yet to be realized, are for the company to:

    Rehabilitate the Kelekar river system and catchment area,
    Reforestate the Kelekar river system and catchment area,
    Pay compensation for all damages done,
    Provide free Health Care Service for the local community,
    Apologize according to local traditions
    Build and renovate places of worship (mosques)
    Build and renovate the village hall.

Unfortunately, PERTAMINA has always considered all pollution caused by their activity in Prabumulih as past collective mistakes. They seemed to display lack of seriousness in following through with their commitment to stop polluting the river since several incidents of pollution still occurred even after the agreement was signed.

The community further urged the company to restore the environmental quality of the area and to acknowledge the community's rights on their natural resources by coming out with several demands, among others were:

    The implementation of strict liability and the restoration of PERTAMINA's production units so that the oil exploitation process will no longer cause grief and damages for the local community.
    Community should be given the opportunity to be fully involved in any decision making process of the company.
    Community is still waiting for the further understanding of the company's promises as agreed upon within the agreement by both parties.

WRITTEN BY: Syam Asinar Radjam (Coordinator of City Pollution Division of WALHI of South Sumatra), and Syamsul Bahri Radjam, SH (Staff of Natural Resources Division of Palembang Legal Aid Foundation, South Sumatera), 2001.
published by KEREBOK Advocacy Mining Network (JATAM), Volume 3, Number 13, August 2001 dan Minergy News


 Subscribe in a reader

Saatnya Bijak Mengelola Sumberdaya Energi (Migas)!

Oleh: Syam Asinar Radjam1]

Awal tahun 2005 lalu, berlangsung sebuah pertemuan penting di Graha Budaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Seminar ini diikuti oleh paling tidak 300 peserta mungkin tak dapat disebut sebagai seminar biasa?

Yang membuatnya menjadi bukan seminar biasa, sebuah perhelatan yang perlu disikapi, adalah karena seminar yang menjadi media bertukar pendapat antar para pengusaha sektor energi, institusi keuangan, konsultan maupun kontraktor energi, perwakilan negara tetangga, maupun lembaga pemerintahan pada level propinsi dan kabupaten/kota. Dari daftar yang didapat penulis para pembicara yang diundang juga tidak tanggung-tanggung, meliputi Gubernur, Menteri, para pimpinan BUMN maupun CEO perusahaan energi swasta.

Asosiasi Jurnalis Cinta Sumsel yang menggelar perhelatan ini. Semangatnya adalah menyambut peluang investasi di sektor energi seiring dicanangkannya propinsi ini sebagai 'Lumbung Energi Nasional' oleh Presiden RI. Tentu topik seminar yang diangkat adalah seputar arah dan skema pengembangan (sektor energi) sumsel yang menghormati produk kebijakan menyangkut pengembangan dan penanaman modal di sektor energi, strategi bisnis yang dibuat beberapa BUMN Sumsel, dan pengalaman para penanam modal dan perusahaan di Sumsel.

Menanggapi pencanangan Sumsel sebagai 'Lumbung Energi Nasional', alih-alih bangga, penulis malah kuatir dan bercuriga. Penamaan Lumbung Energi Nasional hanyalah penamaan positif dari Wilayah Perahan Energi Nasional.

* * *

Potensi Sumberdaya Energi Sumsel

Energi yang disinggung dalam tulisan ini harus dipahami sebagai energi fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi, panas bumi), tidak termasuk sumberdaya energi terbarukan (air, matahari, angin, biodisel) atau kayu bakar.

Cekungan Sumsel mengandung lebih dari separoh cadangan batubara nasional atau sekitar 20 milyar ton2]. Potensi tersebut tersebar di setiap kabupaten di Sumsel, yaitu di Muara Enim, Musi Banyuasin, Lahat, Musi Rawas, Ogan Komering Ulu, dan Ogan Komering Ilir. Ada sekitar 40 lokasi potensi batu bara yang tersebar di enam kabupaten itu.

Hingga ada pameo yang mengatakan, di mana pun orang berdiri di wilayah Sumsel pasti akan menginjak batu bara.


Tanah Sriwijaya ini memang merupakan wilayah yang paling kaya batubara di daratan Sumatera.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Jakarta memperkirakan cadangan minyak bumi 711.81 miliar barel dan gas bumi 21,23 TCF (per 30 Desember 2003). Potensi minyak dan gas bumi (migas) yang diperkirakan 10 persen dari total potensi migas Indonesia. Begitu besarnya potensi sumber daya energi fosil, menjadikan Sumsel sebagai salah satu wilayah ekstraksi dan industri energi fosil terbesar di Indonesia hingga tidak aneh jika sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tanggal 15 Maret 2004 menetapkan Sumatera Selatan sebagai daerah penghasil minyak bumi terbesar tahun 2004, selain Kalimantan Timur. Hingga posisi 1 Januari 2000, dari 5,12 miliar barel cadangan terbukti minyak di Indonesia, 2,63 miliar barel di antaranya berada di Sumatra Tengah (termasuk Riau), Sumatra Selatan 512,1 juta barel, dan Kalimantan Timur (Kaltim) 665,8 juta barel3].

Sedangkan untuk gas bumi, dari 94,7 triliun kaki kubik cadangan terbukti hingga periode tersebut, 28,8 triliun kaki kubik di antaranya berada di Kaltim, Sumsel dan Sumatra Tengah masing-masing 7,5 triliun kaki kubik.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba lebih melihat ke sektor minyak bumi dan gas bumi yang kaya dengan permasalahan yang vital untuk diperbaiki secara fundamental dan radikal. Perubahan fundamental dan radikal tersebut harusnya mendahului pengembangan dan penyambutan terhadap investasi yang masuk di sektor ini. Sebab kita tidak boleh berbangga saja dengan banyaknya jumlah minyak dan gas bumi yang diekspor. Sebab, dalil sederhananya adalah semakin banyak kita membuang (energi) ke luar semakin banyak kita kehilangan! Sementara para investor luar luar negeri datang dari negara yang menerapkan pencadangan dan penyimpanan sumberdaya energi negara mereka untuk memenuhi kebutuhan generasi mereka mendatang.

Buramnya pengelolaan sumberdaya energi sumsel dapat dirunut dari beberapa fakta berikut:

[1] Transparansi dan Korupsi

Merujuk pada UU No 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah diberlakukan, propinsi Sumatera Selatan bakal mendapat pemasukan Rp 250 milyar per tahun. Perolehan itu didapat dari asumsi kontribusi minyak dan gas Sumsel terhadap nasional tahun 1997 sebesar tiga persen dari total penerimaan nasional sektor minyak bumi sebesar Rp 22 trilyun dan empat persen untuk gas dari penerimaan Rp 8 trilyun. Sementara Migas Sumsel Watch (Sripo, 2 Feb 2005) menyatakan sinyalemen publik tidak dapat mengetahui berapa banyak migas yang diangkut keluar dari daerah mereka setiap hari atau setiap bulannya.

Di sisi lain, tindak pencurian uang negara melalui korupsi dan pemborosan disektor migas demikian tinggi. Konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) pernah mencatat, selama periode 1996-1998, inefisiensi di tubuh Pertamina mencapai US$ 4,6 miliar. Ini jelas angka yang luar biasa besar. Jumlah kasus yang dilaporkan berindikasikan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga tidak tanggung-tanggung, sebanyak 159 kasus yang kemudian mendorong DPR membuat Pansus Pertamina pada tahun 2001. Salah satu kasus yang terjadi di Sumatera Selatan adalah kasus Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustraindo Petro Gas. Kasus ini yang merugikan negara US 23,3 juta dollar (lebih dari Rp 184 miliar), ini melibatkan mantan Mentamben Ginandjar Kartasasmita.
Kasus korupsi paling spektakuler di sektor ini adalah ketika Ibnu Sutowo mewariskan utang US$10,5 miliar di tahun 1975 yang nyaris membangkrutkan Indonesia, sebab penerimaan negara dari minyak saat itu hanya US$6 miliar.

Satu hal yang sering luput adalah peluang KKN melalui proses pengadaan barang dan jasa melalui proses lelang yang biasanya sudah 'terkendali'.


[2] Konflik dan bencana

Proses eksploitasi migas tak luput dari persoalan konflik (perusahaan vis a vis buruh, atau perusahaan vis a vis masyarakat lokal) dan beragam bencana (lingkungan hidup dan kemanusiaan). Lembaga advokasi lingkungan dan hukum di Sumsel (sebutlah LBH Palembang dan Walhi Sumsel) pastilah mencatat banyak hal atas kasus-kasus tersebut. Konflik dan perselisihan industrial yang terjadi umumnya karena tidak terjadi hubungan yang etis dan proper antara perusahaan dan buruh dalam pengakuan dan pemenuhan hak-hak normatif kelompok buruh.

Di satu sisi pemerintah gagal melindungi hak hak tersebut. Konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal sebagian besar terjadi pada saat pembebasan lahan, aktivitas eksplorasi tanpa sosialisasi (baca tanpa sepengetahuan pemilik lahan), atau merupakan buah dari akumulasi pencemaran dan pengrusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan migas. Diantara konflik yang didahului oleh pengrusakan lingkungan hidup adalah konflik antara Pertamina OEP Prabumulih (sekarang Pertamina DOH sumsel) di tahun 2000an dengan masyarakat tepian sungai kelekar Prabumulih, dan konflik Kelompok Air Hidup (petani desa Sinar Rambang) dengan PT Seaunion Energy.

Bencana lingkungan dan bencana kemanusiaan akibat aktivitas eksploitasi migas juga tak kunjung berhenti di Sumsel. Pencemaran sungai maupun sumber air masyarakat oleh minyak mentah, air terproduksi bahkan lumpur minyak, kebakaran hutan dan kebun, kerusakan ekosistem, bahkan sampai merenggut nyawa manusia.

Salah satunya adalah kebocoran gas milik PT Exspan Nusantara di desa Babat Musi Banyuasin pada tanggal 26 Mei 2002 yang menyebabkan kematian 4 warga desa Babat. Sayang sekali tindakan pidana lingkungan yang terjadi tidak pernah sampai memberi sanksi secara hukum kepada para pelaku.

[3] Krisis Energi dan Kemiskinan

Sumsel adalah daerah yang menarik untuk diteropong sejauhmana proses pengerukan sumber daya energi yang berlangsung membawa segenap manfaat terhadap hajat hidup masyarakatnya. Justru Ironis. Daerah pemilik potensi sumber daya energi fosil berupa minyak, gas dan batu bara justru harus mengalami krisis energi berkepanjangan.

Pemadaman listrik menjadi kenyataan sehari-hari. Sepanjang tahun 2004 pemadaman aliran listrik secara bergilir terjadi setidaknya pada bulan Februari, April, Juli, Agustus dan November dapat dikatakan sepanjang tahun terjadi pemadaman aliran listrik. Kondisi aliran listrik yang masih byar pet itu mengganggu aktivitas masyarakat di Palembang dan sekitarnya. Didampingi LBH Palembang, konsumen listrik di Palembang akhirnya mengajukan gugatan perwakilan (class action) ke pengadilan.

Hasilnya... pihak Penggugat kalah.


Sementara krisis energi terus berlangsung sumber-sumber energi dieksploitasi secara berlebihan, namun tidak untuk kebutuhan daerah sendiri. Hasil eksploitasi itu mengalir keluar Sumatera Selatan. Gas misalnya, melalui jaringan pipanisasi gas dari Sumsel-Jambi-Batam berakhir ke Singapura. Pipa gas sepanjang 470 Km, mengalirkan gas alam sebanyak 350-600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), untuk suplai pembangkit tenaga listrik di Singapura.

Cadangan batu bara Sumsel mencapai 22 miliar ton, tidak kurang dari 24.000 ton per hari batu bara dari tambang bukit asam sejak tahun 1984 rutin diangkut diangkut ke Suralaya, untuk memasok pembangkit listrik disana (Sripo, 30 Desember 2002). Melalui proyek pipanisasi ke Jawa Barat Sumsel akan memenuhi 60% kebutuhan energi Jakarta dan Jawa Barat. Ai, cacam...

Menyedihkan, wilayah ini selain harus menanggung dampak eksploitasi energi, berupa kerusakan lingkungan, dampak sosial ekonomi dan dampak turunan lainnya namun rakyatnya tidak menikmati hasil dari itu semua. Menurut data Badan Pusat Statistik Sumsel (2002), jumlah penduduk miskin terbanyak di Sumatera Selatan saat ini justru terdapat di daerah "terkaya", yaitu daerah Musi Banyuasin.

Jumlah penduduk miskin di daerah kaya dengan potensi utama pertambangan, perkebunan, dan kehutanan ini tercatat 381.200 jiwa. Di sisi lain, beberapa kompleks perumahan karyawan perusahaan migas telah luruh seiring dengan menipisnya cadangan migas, sementara masyarakat lokal yang masih tinggal di kawasan yang sumberdaya alamnya telah tersedot.

Proses dehumanisasi dan pemiskinan memang selalu berlangsung di tempat kaya sumberdaya alam.


Berangkat Dengan Pijakan yang Jelas

Menarik untuk mengulas topik seminar 'Sumatera Selatan sebagai Provinsi Energy'. Ditarik ke pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono di kompas (10 November 2004) "Provinsi Sumatera Selatan akan didorong menjadi lumbung energi kelistrikan nasional. Caranya, membangun infrastruktur yang mengandalkan kekayaan sumber daya alam di wilayah tersebut, terutama gas, batu bara, dan air. Diharapkan, energi yang diperoleh dapat dioptimalkan untuk mengatasi kelangkaan pasokan energi listrik di Sumsel, di samping menyumbang energi ke wilayah lain di Sumatera dan Jawa."

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM, 2005) menengarai bahwa konsep yang dinyatakan Presiden RI tersebut mengandung konsekuensi logis pada eskalasi laju ekstraksi sumber daya energi fosil di Sumsel dan gencarnya pembangunan infrastruktur pendukungnya. Kondisi ini dapat dipastikan menimbulkan masalah di sekitar lokasi pembangunan seperti konflik lahan, alih fungsi dan masalah sosial ekonomi. Disamping itu, berdampak besar pada kelestarian lingkungan.

Selain itu juga berpotensi mengakibatkan kesalahurusan secara besar ketika semangat sedot terus lalu ekspor, bukan tidak mungkin berimplikasi pada kekurangan bahan baku pupuk (PUSRI) dan industri domestik di wilayah Sumsel seperti yang diderita industri pupuk di Aceh. Bukan tidak mungkin hasil migas sumsel justru akan lebih dipakai untuk memenuhi kebutuhan luar Sumsel.

Patut diingat, untuk sektor gas bumi saja, sampai 2002 eksploitasi gas bumi masih dikuasai oleh perusahaan multinasional, hingga 86 persen produksi total Indonesia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia hanya menjadi sumber produksi untuk mengisi jaringan pasar mereka yang ada di sejumlah tempat di dunia.


Mengingat perhelatan besar yang terjadi hari ini di Sumsel sangat penting maka beberapa catatan yang perlu kita perhatikan bersama adalah menghentikan penerapan konsep melayani modal dalam konteks pengelolaan sumber daya alam. Watak melayani Modal yang membuat para investor dimanjakan dan terlindungi oleh kebijakan negara.

Saatnya bijak mengelola sumberdaya energi [migas], meski tidak mudah untuk memperbaiki persoalan disektor ini, mengingat silang sengkarutnya carut marut. Tetapi penulis yakin bahwa dengan berkumpulnya banyak cerdik pandai dan beritikad baik Graha Budaya Jakabaring 26 Februari ini, minimal mampu mendorong beberapa hal antar lain:


  1. Mendorong berlangsungnya kajian ulang kebijakan untuk melakukan sinkronisasi kebijakan antar sektor,
  2. tersusunnya strategi pencadangan sumberdaya energi untuk generasi mendatang,
  3. penghitungan ulang (rekalkulasi) sumberdaya enegi Sumsel,
  4. penghitungan konsumsi dasar berdasarkan kebutuhan mendesak masyarakat sumsel dan keadilan
    antar generasi,
  5. penghitungan ulang daya rusak eksploitasi terhadap kemampuan alam memulihkannya, menetapkan ambang toleransi pengerukan kekayaan sumberdaya energi,
  6. penyelesaian konflik antara perusahaan, masyarakat lokal, buruh, dan pemerintah sehubungan dengan aktivitas pertambangan yang mengorbankan masyarakat lokal dan buruh,
  7. terwujudnya akses informasi bagi masyarakat, pengembangan eknologi ramah lingkungan serta teknologi lokal.

Setelah pijakannya jelas, barulah kita membincangkan bagaimana investasi masuk.

* * *

Technorati Profile
----------------------------------------

1] Syam Asinar Radjam, penikmat wacana pengelolaan sumberdaya alam Sumsel,
mengelola web-blog pribadi http://www.dusunlaman.blogspot.com dan http://antubanyu.blogspot.com

2] Kompas Rabu, 29 November 2000 Batu Bara, Energi Alternatif Masa Depan

3] Bisnis Indonesia 15/03/2004 Sumsel & Kaltim jadi penghasil minyak terbesar



 Subscribe in a reader

 


ss_blog_claim=9a463614248158a1348a362306f08815 ss_blog_claim=9a463614248158a1348a362306f08815