2 Agu 2007

Berburuk-sangka itu Wajib

Semenjak kecil saya (dan barangkal juga anda) selalu diwanti-wanti untuk berbaik sangka pada gagasan atau niat orang lain. Berburuk-sangka atau dalam terminologi religi yang saya anut disebut su'udzon, bisa membuahkan dosa.

Suatu kali saya berkesempatan ikut sebuah lokakarya bertema lingkungan hidup yang diselenggarakan sebuah organisasi lingkungan tingkat dunia. Hadir dalam lokakarya itu beragam orang muda dengan ragam latar-belakang pula. Dalam kesempatan itu saya sempat berkenalan dengan satu orang muda yang bekerja pada Bank Dunia.

Kenalan saya ini bersemangat betul menyerukan dukungannya terhadap pencabutan subsidi BBM. Selain perkara penghematan APBN, alasan lainnya demi penyelamatan lingkungan. Logikanya sederhana. Jika BBM mahal, orang tidak bisa membeli banyak, tingkat pemakaian berkurang, dan artinya pencemaran yang dihasilkan pembakaran BBM akan berkurang.
Sudah barang tentu kenalan saya itu membawa pesan, ide-ide, dari lembaga tempat ia bekerja. Bank Dunia yang sering dicap mega-rentenir itu memang paling getol memengaruhi pemerintah RI agar menetapkan harga BBM sesuai dengan harga di pasaran internasional.

Sedari awal saya tidak dapat berbaik sangka pada ide-ide semacam ini. Alasan-alasannya ada pada tulisan saya yang lain. Apa lacur, gagasan ini kepalang diterima oleh pemerintah Republik Indonesia. Beberapa hari setelah harga BBM naik setinggi harga di pasaran dunia, bermunculan pom bensin milik perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Sebut saja misalnya, SHELL.

Ternyata, orang-orang yang keracunan ide Bank Dunia mengantarkan Indonesia pada satu kondisi baru. Kondisi yang pas sebagai pasar. Seruan menaikkan harga BBM dengan topeng penyelamatan lingkungan hidup atau pun penyelamatan kondisi moneter Indonesia ketahuan belangnya. Semata-mata hanya mencari celah bagi perusahaan asing mencari keuntungan.

Apa lacur nasi telah menjadi bubur gosong. Tak dapat dimakan sama sekali. Sementara itu, orang-orang yang keracunan ide rentenir kelas dunia, tak dapat diminta pertanggungjawabannya.

Saat ini beberapa pihak menyerukan penggunaan biofuel, bahan bakar nabati. Indonesia yang luar biasa kaya dengan sumber energi, bai yang habis pakai maupun terbarukan (renewable), juga latah ikut-ikutan. Bagi investor perkebunan dengan berupa bahan baku bio-fuel, misalnya kelapa sawit, didukung habis-habisan.

Melalui kampanye di beragam media, mulai dari elektronik hingga cetak, rakyat Indonesia terus-menerus didorong untuk berbaik-sangka terhadap program biofuel ini. Ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pun makin marak. Sedikitnya 15 juta ton CPO asal Indonesia dikapalkan ke Eropa. Pada saat yang sama, di Indonesia sendiri terjadi kelangkaan minyak sayur. Ribuan mungkin jutaan rakyat Indonesia antri untuk mendapatkan minyak sayur agar bisa menyajikan tempe goreng di meja makan keluarga mereka.

Di Eropa, sebagian CPO asal Indonesia dan negara penghasil CPO lainnya, memang diproses menjadi biofuel bagi kendaraan di tanah sana agar lebih ramah lingkungan. Di bawah bayang-bayang isu perubahan iklim, Parlemen Uni Eropa menargetkan penggunaan biofuel sebagai bahan bakar kendaraan bermotor meningkat sebanyak 10 persen pada tahun 2020. Amerika Serikat yang hingga saat ini mati-matian ogah menandatangani Protokol Kyoto, mengaku akan menyelamatkan lingkungan dengan menggunakan lebih dari 35 milyar galon biofuel per tahun untuk mengurangi emisi karbon.

Aha, ini peluang pasar bagi para penghasil CPO di Indonesia. Namun di Indonesia, program biofuel yang membangkitkan semangat perluasan perkebunan sawit ataupun agrofuel lainnya justru memperparah kondisi lingkungan hidup dan meningkatkan konflik agraria. Sebagaimana dalam catatan Sekretaris Jenderal FSPI, Henry Saragih dalam tulisannya di Jakarta Post, dalam tahun 2006 saja ekspansi perkebunan sawit telah meletupkan 350 konflik agraria.

Masihkah kita bisa berbaik sangka terhadap gagasan-gagasan yang dibawa oleh orang-orang yang keracunan ide-ide penyelamatan lingkungan hidup yang disokong oleh lembaga-lembaga rentenir internasional yang bersatu-padu dengan perusahaan lintas dunia? Saya kira, dalam konteks lingkungan hidup, berburuk sangka itu lebih dari sekadar perlu. Justru, wajib.

[Syam Asinar Radjam, Lebul 2 Agustus 2007]


 Subscribe in a reader

Tidak ada komentar:

 


ss_blog_claim=9a463614248158a1348a362306f08815 ss_blog_claim=9a463614248158a1348a362306f08815