11 Jul 2007

Saatnya Bijak Mengelola Sumberdaya Energi (Migas)!

Oleh: Syam Asinar Radjam1]

Awal tahun 2005 lalu, berlangsung sebuah pertemuan penting di Graha Budaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Seminar ini diikuti oleh paling tidak 300 peserta mungkin tak dapat disebut sebagai seminar biasa?

Yang membuatnya menjadi bukan seminar biasa, sebuah perhelatan yang perlu disikapi, adalah karena seminar yang menjadi media bertukar pendapat antar para pengusaha sektor energi, institusi keuangan, konsultan maupun kontraktor energi, perwakilan negara tetangga, maupun lembaga pemerintahan pada level propinsi dan kabupaten/kota. Dari daftar yang didapat penulis para pembicara yang diundang juga tidak tanggung-tanggung, meliputi Gubernur, Menteri, para pimpinan BUMN maupun CEO perusahaan energi swasta.

Asosiasi Jurnalis Cinta Sumsel yang menggelar perhelatan ini. Semangatnya adalah menyambut peluang investasi di sektor energi seiring dicanangkannya propinsi ini sebagai 'Lumbung Energi Nasional' oleh Presiden RI. Tentu topik seminar yang diangkat adalah seputar arah dan skema pengembangan (sektor energi) sumsel yang menghormati produk kebijakan menyangkut pengembangan dan penanaman modal di sektor energi, strategi bisnis yang dibuat beberapa BUMN Sumsel, dan pengalaman para penanam modal dan perusahaan di Sumsel.

Menanggapi pencanangan Sumsel sebagai 'Lumbung Energi Nasional', alih-alih bangga, penulis malah kuatir dan bercuriga. Penamaan Lumbung Energi Nasional hanyalah penamaan positif dari Wilayah Perahan Energi Nasional.

* * *

Potensi Sumberdaya Energi Sumsel

Energi yang disinggung dalam tulisan ini harus dipahami sebagai energi fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi, panas bumi), tidak termasuk sumberdaya energi terbarukan (air, matahari, angin, biodisel) atau kayu bakar.

Cekungan Sumsel mengandung lebih dari separoh cadangan batubara nasional atau sekitar 20 milyar ton2]. Potensi tersebut tersebar di setiap kabupaten di Sumsel, yaitu di Muara Enim, Musi Banyuasin, Lahat, Musi Rawas, Ogan Komering Ulu, dan Ogan Komering Ilir. Ada sekitar 40 lokasi potensi batu bara yang tersebar di enam kabupaten itu.

Hingga ada pameo yang mengatakan, di mana pun orang berdiri di wilayah Sumsel pasti akan menginjak batu bara.


Tanah Sriwijaya ini memang merupakan wilayah yang paling kaya batubara di daratan Sumatera.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Jakarta memperkirakan cadangan minyak bumi 711.81 miliar barel dan gas bumi 21,23 TCF (per 30 Desember 2003). Potensi minyak dan gas bumi (migas) yang diperkirakan 10 persen dari total potensi migas Indonesia. Begitu besarnya potensi sumber daya energi fosil, menjadikan Sumsel sebagai salah satu wilayah ekstraksi dan industri energi fosil terbesar di Indonesia hingga tidak aneh jika sidang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tanggal 15 Maret 2004 menetapkan Sumatera Selatan sebagai daerah penghasil minyak bumi terbesar tahun 2004, selain Kalimantan Timur. Hingga posisi 1 Januari 2000, dari 5,12 miliar barel cadangan terbukti minyak di Indonesia, 2,63 miliar barel di antaranya berada di Sumatra Tengah (termasuk Riau), Sumatra Selatan 512,1 juta barel, dan Kalimantan Timur (Kaltim) 665,8 juta barel3].

Sedangkan untuk gas bumi, dari 94,7 triliun kaki kubik cadangan terbukti hingga periode tersebut, 28,8 triliun kaki kubik di antaranya berada di Kaltim, Sumsel dan Sumatra Tengah masing-masing 7,5 triliun kaki kubik.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba lebih melihat ke sektor minyak bumi dan gas bumi yang kaya dengan permasalahan yang vital untuk diperbaiki secara fundamental dan radikal. Perubahan fundamental dan radikal tersebut harusnya mendahului pengembangan dan penyambutan terhadap investasi yang masuk di sektor ini. Sebab kita tidak boleh berbangga saja dengan banyaknya jumlah minyak dan gas bumi yang diekspor. Sebab, dalil sederhananya adalah semakin banyak kita membuang (energi) ke luar semakin banyak kita kehilangan! Sementara para investor luar luar negeri datang dari negara yang menerapkan pencadangan dan penyimpanan sumberdaya energi negara mereka untuk memenuhi kebutuhan generasi mereka mendatang.

Buramnya pengelolaan sumberdaya energi sumsel dapat dirunut dari beberapa fakta berikut:

[1] Transparansi dan Korupsi

Merujuk pada UU No 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah diberlakukan, propinsi Sumatera Selatan bakal mendapat pemasukan Rp 250 milyar per tahun. Perolehan itu didapat dari asumsi kontribusi minyak dan gas Sumsel terhadap nasional tahun 1997 sebesar tiga persen dari total penerimaan nasional sektor minyak bumi sebesar Rp 22 trilyun dan empat persen untuk gas dari penerimaan Rp 8 trilyun. Sementara Migas Sumsel Watch (Sripo, 2 Feb 2005) menyatakan sinyalemen publik tidak dapat mengetahui berapa banyak migas yang diangkut keluar dari daerah mereka setiap hari atau setiap bulannya.

Di sisi lain, tindak pencurian uang negara melalui korupsi dan pemborosan disektor migas demikian tinggi. Konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) pernah mencatat, selama periode 1996-1998, inefisiensi di tubuh Pertamina mencapai US$ 4,6 miliar. Ini jelas angka yang luar biasa besar. Jumlah kasus yang dilaporkan berindikasikan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga tidak tanggung-tanggung, sebanyak 159 kasus yang kemudian mendorong DPR membuat Pansus Pertamina pada tahun 2001. Salah satu kasus yang terjadi di Sumatera Selatan adalah kasus Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustraindo Petro Gas. Kasus ini yang merugikan negara US 23,3 juta dollar (lebih dari Rp 184 miliar), ini melibatkan mantan Mentamben Ginandjar Kartasasmita.
Kasus korupsi paling spektakuler di sektor ini adalah ketika Ibnu Sutowo mewariskan utang US$10,5 miliar di tahun 1975 yang nyaris membangkrutkan Indonesia, sebab penerimaan negara dari minyak saat itu hanya US$6 miliar.

Satu hal yang sering luput adalah peluang KKN melalui proses pengadaan barang dan jasa melalui proses lelang yang biasanya sudah 'terkendali'.


[2] Konflik dan bencana

Proses eksploitasi migas tak luput dari persoalan konflik (perusahaan vis a vis buruh, atau perusahaan vis a vis masyarakat lokal) dan beragam bencana (lingkungan hidup dan kemanusiaan). Lembaga advokasi lingkungan dan hukum di Sumsel (sebutlah LBH Palembang dan Walhi Sumsel) pastilah mencatat banyak hal atas kasus-kasus tersebut. Konflik dan perselisihan industrial yang terjadi umumnya karena tidak terjadi hubungan yang etis dan proper antara perusahaan dan buruh dalam pengakuan dan pemenuhan hak-hak normatif kelompok buruh.

Di satu sisi pemerintah gagal melindungi hak hak tersebut. Konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal sebagian besar terjadi pada saat pembebasan lahan, aktivitas eksplorasi tanpa sosialisasi (baca tanpa sepengetahuan pemilik lahan), atau merupakan buah dari akumulasi pencemaran dan pengrusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan migas. Diantara konflik yang didahului oleh pengrusakan lingkungan hidup adalah konflik antara Pertamina OEP Prabumulih (sekarang Pertamina DOH sumsel) di tahun 2000an dengan masyarakat tepian sungai kelekar Prabumulih, dan konflik Kelompok Air Hidup (petani desa Sinar Rambang) dengan PT Seaunion Energy.

Bencana lingkungan dan bencana kemanusiaan akibat aktivitas eksploitasi migas juga tak kunjung berhenti di Sumsel. Pencemaran sungai maupun sumber air masyarakat oleh minyak mentah, air terproduksi bahkan lumpur minyak, kebakaran hutan dan kebun, kerusakan ekosistem, bahkan sampai merenggut nyawa manusia.

Salah satunya adalah kebocoran gas milik PT Exspan Nusantara di desa Babat Musi Banyuasin pada tanggal 26 Mei 2002 yang menyebabkan kematian 4 warga desa Babat. Sayang sekali tindakan pidana lingkungan yang terjadi tidak pernah sampai memberi sanksi secara hukum kepada para pelaku.

[3] Krisis Energi dan Kemiskinan

Sumsel adalah daerah yang menarik untuk diteropong sejauhmana proses pengerukan sumber daya energi yang berlangsung membawa segenap manfaat terhadap hajat hidup masyarakatnya. Justru Ironis. Daerah pemilik potensi sumber daya energi fosil berupa minyak, gas dan batu bara justru harus mengalami krisis energi berkepanjangan.

Pemadaman listrik menjadi kenyataan sehari-hari. Sepanjang tahun 2004 pemadaman aliran listrik secara bergilir terjadi setidaknya pada bulan Februari, April, Juli, Agustus dan November dapat dikatakan sepanjang tahun terjadi pemadaman aliran listrik. Kondisi aliran listrik yang masih byar pet itu mengganggu aktivitas masyarakat di Palembang dan sekitarnya. Didampingi LBH Palembang, konsumen listrik di Palembang akhirnya mengajukan gugatan perwakilan (class action) ke pengadilan.

Hasilnya... pihak Penggugat kalah.


Sementara krisis energi terus berlangsung sumber-sumber energi dieksploitasi secara berlebihan, namun tidak untuk kebutuhan daerah sendiri. Hasil eksploitasi itu mengalir keluar Sumatera Selatan. Gas misalnya, melalui jaringan pipanisasi gas dari Sumsel-Jambi-Batam berakhir ke Singapura. Pipa gas sepanjang 470 Km, mengalirkan gas alam sebanyak 350-600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), untuk suplai pembangkit tenaga listrik di Singapura.

Cadangan batu bara Sumsel mencapai 22 miliar ton, tidak kurang dari 24.000 ton per hari batu bara dari tambang bukit asam sejak tahun 1984 rutin diangkut diangkut ke Suralaya, untuk memasok pembangkit listrik disana (Sripo, 30 Desember 2002). Melalui proyek pipanisasi ke Jawa Barat Sumsel akan memenuhi 60% kebutuhan energi Jakarta dan Jawa Barat. Ai, cacam...

Menyedihkan, wilayah ini selain harus menanggung dampak eksploitasi energi, berupa kerusakan lingkungan, dampak sosial ekonomi dan dampak turunan lainnya namun rakyatnya tidak menikmati hasil dari itu semua. Menurut data Badan Pusat Statistik Sumsel (2002), jumlah penduduk miskin terbanyak di Sumatera Selatan saat ini justru terdapat di daerah "terkaya", yaitu daerah Musi Banyuasin.

Jumlah penduduk miskin di daerah kaya dengan potensi utama pertambangan, perkebunan, dan kehutanan ini tercatat 381.200 jiwa. Di sisi lain, beberapa kompleks perumahan karyawan perusahaan migas telah luruh seiring dengan menipisnya cadangan migas, sementara masyarakat lokal yang masih tinggal di kawasan yang sumberdaya alamnya telah tersedot.

Proses dehumanisasi dan pemiskinan memang selalu berlangsung di tempat kaya sumberdaya alam.


Berangkat Dengan Pijakan yang Jelas

Menarik untuk mengulas topik seminar 'Sumatera Selatan sebagai Provinsi Energy'. Ditarik ke pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono di kompas (10 November 2004) "Provinsi Sumatera Selatan akan didorong menjadi lumbung energi kelistrikan nasional. Caranya, membangun infrastruktur yang mengandalkan kekayaan sumber daya alam di wilayah tersebut, terutama gas, batu bara, dan air. Diharapkan, energi yang diperoleh dapat dioptimalkan untuk mengatasi kelangkaan pasokan energi listrik di Sumsel, di samping menyumbang energi ke wilayah lain di Sumatera dan Jawa."

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM, 2005) menengarai bahwa konsep yang dinyatakan Presiden RI tersebut mengandung konsekuensi logis pada eskalasi laju ekstraksi sumber daya energi fosil di Sumsel dan gencarnya pembangunan infrastruktur pendukungnya. Kondisi ini dapat dipastikan menimbulkan masalah di sekitar lokasi pembangunan seperti konflik lahan, alih fungsi dan masalah sosial ekonomi. Disamping itu, berdampak besar pada kelestarian lingkungan.

Selain itu juga berpotensi mengakibatkan kesalahurusan secara besar ketika semangat sedot terus lalu ekspor, bukan tidak mungkin berimplikasi pada kekurangan bahan baku pupuk (PUSRI) dan industri domestik di wilayah Sumsel seperti yang diderita industri pupuk di Aceh. Bukan tidak mungkin hasil migas sumsel justru akan lebih dipakai untuk memenuhi kebutuhan luar Sumsel.

Patut diingat, untuk sektor gas bumi saja, sampai 2002 eksploitasi gas bumi masih dikuasai oleh perusahaan multinasional, hingga 86 persen produksi total Indonesia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia hanya menjadi sumber produksi untuk mengisi jaringan pasar mereka yang ada di sejumlah tempat di dunia.


Mengingat perhelatan besar yang terjadi hari ini di Sumsel sangat penting maka beberapa catatan yang perlu kita perhatikan bersama adalah menghentikan penerapan konsep melayani modal dalam konteks pengelolaan sumber daya alam. Watak melayani Modal yang membuat para investor dimanjakan dan terlindungi oleh kebijakan negara.

Saatnya bijak mengelola sumberdaya energi [migas], meski tidak mudah untuk memperbaiki persoalan disektor ini, mengingat silang sengkarutnya carut marut. Tetapi penulis yakin bahwa dengan berkumpulnya banyak cerdik pandai dan beritikad baik Graha Budaya Jakabaring 26 Februari ini, minimal mampu mendorong beberapa hal antar lain:


  1. Mendorong berlangsungnya kajian ulang kebijakan untuk melakukan sinkronisasi kebijakan antar sektor,
  2. tersusunnya strategi pencadangan sumberdaya energi untuk generasi mendatang,
  3. penghitungan ulang (rekalkulasi) sumberdaya enegi Sumsel,
  4. penghitungan konsumsi dasar berdasarkan kebutuhan mendesak masyarakat sumsel dan keadilan
    antar generasi,
  5. penghitungan ulang daya rusak eksploitasi terhadap kemampuan alam memulihkannya, menetapkan ambang toleransi pengerukan kekayaan sumberdaya energi,
  6. penyelesaian konflik antara perusahaan, masyarakat lokal, buruh, dan pemerintah sehubungan dengan aktivitas pertambangan yang mengorbankan masyarakat lokal dan buruh,
  7. terwujudnya akses informasi bagi masyarakat, pengembangan eknologi ramah lingkungan serta teknologi lokal.

Setelah pijakannya jelas, barulah kita membincangkan bagaimana investasi masuk.

* * *

Technorati Profile
----------------------------------------

1] Syam Asinar Radjam, penikmat wacana pengelolaan sumberdaya alam Sumsel,
mengelola web-blog pribadi http://www.dusunlaman.blogspot.com dan http://antubanyu.blogspot.com

2] Kompas Rabu, 29 November 2000 Batu Bara, Energi Alternatif Masa Depan

3] Bisnis Indonesia 15/03/2004 Sumsel & Kaltim jadi penghasil minyak terbesar



 Subscribe in a reader

Tidak ada komentar:

 


ss_blog_claim=9a463614248158a1348a362306f08815 ss_blog_claim=9a463614248158a1348a362306f08815